Prakata
Naskah babad tanah jawa telah beberapa kali
diterjemahkan lalu di terbitkan oleh pihak yang berbeda-beda. Hal ini
mengakibatkan munculnya beberapa versi yang sedikit berbeda namun secara esensi
sama. Adapun Babad tanah Jawa ini diterjemahkan dari buku yang berjudul PUNIKA SERAT BABAD TANAH JAWI WIWIT SAKING NABI ADAM DOEMOEGI ING TAOEN 1647
dan di Susun oleh W.L. Olthof di leiden, Belanda, Pada Tahun 1941
Inilah babad para raja di tanah jawa, Di
Awali dari Nabi Adam, ber-putra Sis,
Esis berputra Nurcahya, Nurcahya berputra Nurasa. Nurasa berputra Sang Hyang
Wening, Sang Hyang Wening berputra Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal
berputra Batara Garu, Batara Guru
berputra Lima bernama:
1.
Batara
Sambo
2.
Batara
Brama
3.
Batara
Maha-Dewa
4.
Batara
Wisnu
5.
Dewi
Sri
Ø Batara Wisnu menjadi Raja di Pulau Jawa
Bergelar Prabu Set.
Ø Kerajaan Batara Guru Berada di Sura-laya.
“Batara Guru mempunyai
“simpanan” putri cantik di Negara
mendang. Niatnya putri tadi mau di angkat ke Surga serta ingin di jadikan
permaisurinya.
Tatkala Batara Wisnu sedang
berkelana ia tertarik melihat putri
Mendang tadi. Batara Wisnu tidak
menyadarinya bahwa sebenarnya putri tersebut adalah simpanan ayahnya, Lalu di
peristri oleh Batara wisnu. Hal itu membuat marah Batara Guru. Sang Hyang
Narada lalu diperintahkan untuk menyampaikan
Murkanya, serta mengambil alih kerajaannya. Batara Wisnu Mengetahui hal
itu lalu pergi dari negeri nya, bertapa ditengah hutan, di bawah pohon beringin
berjajar tujuh batang. Istrinya, putrinya, dari mendang itu pun
ditinggalkannya.
Alkisah dari Negeri Giling Wesi
Rajanya bergelar Watu-gunung yang bernama Prabu
SilaCala. Mempunyai 2 orang permaisuri yang pertama bernama Dewi Sinta dan yang ke dua Dewi
Landep. Berputra 27 orang. Semuanya laki-laki, yang bernama : 1. Wukir 2.
Kurantil 3. Tolu 4. Gumbreg 5. Warigalit 6. Wari Agung 7. Julung Wangi 8.
Sungsang 9. Galungan 10. Kuningan 11. Langkir 12. Manda Siya, 13.Julung-Pujut,
14. Pahang 15. Kuru Welut 16. Marakeh 17. Tambir 18. Mandangkungan 19. Maktal 20. Puye 21. Menahil 22. Prang Bakat 23. Baal
24. Wugu 25. Wayang 26. Kulawu 27. Dukut. Semua keturunan dari
Permaisuri Dewi Sinta.
D
alam Tahun Wijaya, terhitung tahun
401 S dengan sengkalan Janma Angrusak
Pakarti, atau 413 C, Gunung Wong Dadi Barakan. Bersamaan dengan masa
Kaetika. Saat itu Negeri Giling Wesi terjadi huru hara besar. Banyak rakyat
kecil yang menderita, makanan sukar didapat, sering terjadi gerhana matahari
maupun gerhana bulan, hujan salah musim, gempa tujuh kali dalam sehari. Itu
sebagai isyarat Negeri Giling Wesi akan rusak. Prabu silacala (watu gunung)
sangat sedih menyaksikan penderitaan rakyat nya. Suatu hari Prabu SilaCala
sedang duduk diperaduan yang terbuat dari gading dan bercengkerama dengan
permaisuri Dewi Sinta sambil mengemong anak mereka yang baru disapih. Lama-lama
prabu SilaCala membaringkan kepalanya di pangkuan Dewi Sinta minta dicarikan
kutunya. Pada saat itu Dewi Sinta kaget
melihat kepala prabu botak di bagian atas. Dewi Sinta bertanya mengapa
terjadi demikian. Prabu SilaCala menceritakan sebab musabab botak dibagian
kepalanya. Pada waktu kecil dipukul centong oleh ibunya yang bernama Dewi
Basundari. Lalu ia ceritakan kelanjutan perjalanan hidupnya hingga menjadi
Raja.
Setelah mendengar
cerita demikian, Dewi Sinta terkesima lalu ingat ketika pergi anaknya yang
bernama Raden Wudhug atau Raden Radite karena di pukul centong kepalanya hingga
keluar darah. Letak memukul nya persis pada sisi kepala Prabu SilaCala yang
menjadi botak.
Dewi Sinta
merenung dalam hati, bahwa tidak salah, Prabu SilaCala adalah anaknya yang
dipukul itu, lalu menjadi suaminya. Dewi Sinta sangat menyesal, dan mengeluh
kepada dewa alangkah celaka hidupnya. Demi, takut ketahuan anak nya, Dewi Sinta
lalu berkata: “Paduka, apakah benar paduka mencintai hamba?”...
Prabu SilaCala
mendengar perkataan permaisurinya sangat terkejut hatinya, dan segera bangun
dari pangkuan. Lalu Dewi Sinta di rangkul, di gendong, di cumbu rayu, di ciumi
pipinya dan prabu berkata: “Duhai nyawa, pemimpin semua di bumi, siapa yang
tidak akan jatuh cinta melihat putri mutiara secantik dinda. “duh aduh pujaan
ku adinda, kasih ku hanya pada mu, mengapa engkau masih ragu. “mana sih di
antara istri ku yang ku cintai lebih dari adinda? Terlebih hanya adinda yang
berputra laki-laki dan tampan paras wajah nya?” Dewi Sinta berkata: “Paduka
suami junjungan hamba, kalau paduka benar-benar mencintai hamba, izinkan hamba
memohon kepada paduka apabila kurang tata bahasa hamba mohon di maafkan, lagi
pula sejak saat ini paduka jangan meminta bermain asmara dengan hamba, karena
hamba hendak menjalani tapa brata, memuja kepada dewa minta keselamatan dan
kesejahteraan paduka dalam menjalankan pemerintahaan, sampai permohonan hamba
di kabulkan oleh dewata”.
Sabda prabu
SilaCala,”Duhai adinda, permataku yang tak pernah lepas dari mataku, jantung
hatiku, apa yang menjadi kehendak mu aku turuti, tapi jangan lama-lama oleh mu
memuja brata. Karena aku tidak tahan melihat manisnya keperempuanmu lebih dari
dua kali purnama”.Dewi Sinta menyanggupi sambil memohon doa semoga di terima
oleh dewa.
Dewi Sinta
lalu di turunkan dari gendongan. Dewi Sinta menciumi anaknya, Raden Radeya
sambil berpeluh tangis. Kata sang Dewi, “Paduka, anak mu Raden Radeya pantas di
berinama Raden Sindhula”.
Prabu SilaCala
menuruti kehendak permaisurinya, kemudian permaisuri pergi ketempat pemujaan.
Memohon kepada dewa semoga di ampuni dosa-dosanya karena telah samar dengan
putranya sendiri dan memohon agar kasih Prabu SilaCala terhadap dirinya
berkurang. Tidak lama permohonannya di terima oleh dewa. Kelihatan cinta Prabu
SilaCala padanya sudah berkurang. selain itu Raden Radeya juga sudah terkenal
dengan sebutan Raden Sindhula, yang artinya air atau sperma yang salah tempat.
Pada tahun 402
S ditandai Nembah Mesat Wahana Sirna,
atau 414 C ditandai Pakartining Janma
Warna Muksa. bersamaan dengan masa Kartika,
Prabu SilaCala menemui Dewi Sinta, mencumbu rayu tidak tahan lagi mengajak
bercinta. akan tetapi Dewi Sinta pura-pura
kalau sedang datang bulan. Prabu SilaCala lalu berhenti. Esok harinya,
dmikian pula Dewi Sinta beralasan kalau sedang datang bulan. sejak saat itu
walaupun tiada henti-henti prabu SilaCala berkehendak untuk mengajak
permaisurinya berjimak dengan kata cumbu rayu sepreti kumbang hendak menghisap
sari madu, akan tetapi Dewi Sinta tetap tidak mau. Prabu SilaCala heran melihat
tindak tanduk permaisurinya yang sulit diajak bercinta, hingga timbul niatnya
untuk menganiayanya. pada saat itu Dewi Sinta kebingungan hendak menolaknya,
lalu dia mendapat akal dan berkata, “Wahai paduka suami junjungan hamba yang
berkuasa di dunia, mohon kurangi nafsu, redakan pamrih. siapakah yang memiliki
jasad hamba ini kecuali paduka. akan tetapi hamba harus tahu seberapa besar
cinta Paduka kepada hamba. kalau paduka benar-benar cinta, sebuah kata mutiara
mengatakan, “Bukti cinta sejati adalah ikhlas, letak ke ikhlasan adalah kesediaan
memenuhi permohonan perempuan. maka hamba hendak mengajukan permohonan kepada
paduka”.
Prabu Silacala
menjawab sambil merintih, Duhai adinda, jantung hatiku, katakanlah apa yang
menjadi permintaan mu. Jangankan hanya emas permata yang indah-indah, kalau
engkau meminta di bongkarnya gunung batuwara, menjembatani laut jawa, pasti aku
turuti. Janji aku mendapatkan kesembuhan asmara ku, adinda”.
Dewi Sinta
menjawab, “Paduka, sesungguhnya hamba meminta madu tujuh bidadari dari Suralaya
agar tambah keluhuran paduka. kalau Paduka berkenan, hamba memohon agar paduka
mengawini Dewi Supraba, Dewi Gotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagar
mayang, Dewi Irim irim, Dewi Tunjung biru”. Prabu Silacala setelah mendengar
perkataan Dewi Sinta, lalu menjawab dengan tertawa, “Duhai adinda, elok sekali
permintaanmu. Akan tetapi baiklah, akan aku turuti”.
Prabu
Silacala lalu keluar, memanggil adiknya Patih Suwelacala dan Brahmana Suktina.
Prabu Silacala memerintahkan keinginannya untuk mengawini tujuh bidadari
Suralaya. Apa bisa yang menjadi kemudahan untuk mewujudkan hal ini? kata
Brahmana Suktina, “Paduka, kehandak yang sedemikian besar itu, harus di jalani
dengan Tapa Brata, di songsong dengan darma, di panah dengan cipta hening, di
gagas dengan ketajaman budi. Maknanya, jangan sampai putus meminta ampunan
kepada dewa. kalau tepat, maka sungguh yang di inginkan akan di kabulkan, yang
di harapkan ada, yang di minta datang”. Kata Prabu Silacala, “Hai Brahmana
Suktina, Jalan yang demikian itu sangat sulit, Bagaiman caranya membuka agar
jangan terlalu sulit dan mudah di lewati?”
Arya
Suwelacala berkata, “Paduka, kalau sulit itu melakukannya dengan kesungguhan niat.
bila kuat niatnya, lama lama pasti bisa dijalani”. Prabu Silacala diam lalu
pergi masuk ke taman sari melihat bunga bunga sambil mencari akal.
Diceritakan
ditaman tadi ada seorang Raksasa kerdil yang menjadi juru taman yang bernama
brekuthu. Ia mengatakan kepada Prabu silacala, “Paduka, Dewa itu sungguh murah
Asih, pasti memenuhi segala permintaan hambanya. kemarin bunga wiluta yang ada
di jambangan, kembangnya rusak dimakan ulat. karena hamba jengkel, hamba
memohon kepada dewa walaupun dimakan ulat tapi yang buruk buruk saja. lalu pagi
ini hamba melihat bunga bunga yang bagus tidak ada yang di makan ulat”.
Prabu
Silacala kemudian melihat jambangan. Sungguh bunga bunga yang bagus utuh semua,
tidak ada yang dimakan ulat. Prabu Silacala merenung dalam hati, lalu berkata
kepada brekuthu,”Hai, Brekuthu, kalau kamu di kasihi Dewa, maka mohonkan untuk
ku tujuh Bidadari dari Suralaya”.
Kata
Brekuthu, “Duhai, Paduka sesembahan hamba, kalau demikian kehendak paduka,
hamba mohon di marahi, karena hamba merasa belum di terima oleh Dewa. Hamba
tidak kuat Prihatin, akan tetapi hamba punya orang tua Raksasa yang bernama
Pulasya yang mengabdi di setra
Gandamayit. Sepertinya dia sudah di teria Dewa, karena sudah pernah naik
ke Kahyangan Suralaya di utus oleh
SangHyang Kala. Dia mungkin bisa memohonkan apa yang menjadi kehendak
Paduka itu”. Kata Prabu Silacala, “Ditya Pulasya itu apa mau saya panggil?
serta apa kamu ini anaknya betul?” Kata Ditya brekuthu, “ Akan saya coba
mengundangnya , akan tetapi kata hamba kapada SangHyang kala, Paduka yang
meminta”. Prabu, Silacala berkenan. Ditya Brekuthu diperintahkan untuk
berngkat. Pesan Brekuthu, ”Paduka, setelah kepergian hamba, mohon Paduka
menyembelih seekor lembu di olah mentah dan disajikan ke setiap tempat yang
angker, dan mata air yang wingit, serta pohon yang aneh. ini sebagai
persembahan kepada Eyang hamba SangHyang Kala”. Prabu Silacala menyetujuinya.
Ditya Brekuthu melesat mengangkasa. Sesampai di Setra Gandamayit, Brekuthu
mengatakan kepada SangHyang Kala, tentang kedatangannya sebagai utusan. Kata
SangHyang Kala, “Sudah Aku kabulkan, karena aku sudah menerima persembahan di
tempat-tempat yang angker semua”. Lalu Ditya Pulasya di perintahkan untuk
segera berangkat. Sesampai di Kerajaan Giling Wesi bertemu dengan Prabu
Silacala. Ia di sambut dengan ramah dan di katakan apa yang menjadi kehendak
Prabu Silacala. Ditya Pulasya menyanggupi lalu melesat ke angkasa. sesampai di
Suralaya, menghadap SangHyang Indra, “Hai, Ditya Pulasya, belum pernah terjadi
manusia mengawini Bidadari kecuali dengan kematian yang sempurna. Karena badan
halus itu jodohnya badan halus”. Ditya Pulasya lalu mundur merasa malu.
demikian juga Ia malu Untuk kembali ke Giling Wesi, maka Ia kembali Setra
Gandamayit.
Pada tahun
manmata
403 S, ditandai Guna Tanpa Dadi, atau tahun 415 C, Wisaya Nunggal Warna.
bersamaan dengan masa Kartika, diceritakan Prabu Silacala
memanggil Brekuthu menanyakan mengapa lama sekali perjalanan Ditya Pulasya.
Kata Brekuthu, “Paduka, hamba rasa tidak terlalu lama perjalanan ke Suralaya.
Hamba pikir saat ini Ditya Pulasya sudah ada di Setra Gandamayit”. Prabu
Silacala memerintahkan untuk mencarinya ke Setra Gandamayit. Brekuthu lalu
melesat. sesampai di Setra Gandamayit lalu menghadap kepada SangHyang Kala. Ia
mengatakan bahwa kedatangannya di perintahkan untuk mencari berita tentang
Ditya Pulasya. Kata SangHyang Kala, kepada Brekuthu, “Hai, Brekuthu, Raja mu
punya panah erawana busurnya bajra, itu sampaikan pada Raja
mu agar di persembahkan ke Suralaya. Kamu yang memberikan kepada SangHyang
Indra. mungkin dengan demikian, akan mendapat tali asih dewa kepada raja mu,
sebab untuk mendapat cinta kasih sering kali harus di bayar dengan suatu pengorbanan”.
Ditya Brekuthu menyembah dan pamit kembali. Sesampai di kerajaan Giling Wesi,
Brekuthu melaporkan segalanya dari awal hingga akhir. Prabu Silacala diam
karena sedih. perkataan Ditya Brekuthu masih di pikirkannya!...
>>>>>>>>>>>>>>>>bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas kritik dan sarannya